Post

Nadir 45 Derajat ke Selatan

Malam sudah sangat akrab dengan Nadir, jauh lebih akrab dari siangnya. Matahari yang menusuk matanya tak pernah lagi berani ia sapa. Gelap, yang walaupun tak pernah menenangkan, sudah setia menemaninya menghadapi tangannya sendiri yang haus ingin melihat kulit kepala yang bersih dari rambut gondrongnya yang tidak pernah ia cukur sejak 6 tahun lalu. Namun kali ini beda.

Nadir yang tak pernah beranjak dari tempat tidurnya sepanjang hari, tersadar bahwa ia melewatkan satu malamnya dan bertemu pagi terang. Nadir tak menyangka bahwa ia bisa tidur lebih cepat malam tadi tanpa terjaga dengan tiga kura-kura di kepalanya yang tak henti menyentil satu per satu lekukan permukaan otaknya tiap kali ia memejamkan mata. Tapi, yang lebih membuatnya terkejut adalah ia terbangun dengan posisi badannya terkulai menempel di dinding. Nadir berusaha lepas dari dinding itu namun tidak bisa, sampai akhirnya ia mencoba berdiri dan melihat ke luar jendela kamar. Ia sadar bahwa kini gravitasi bekerja dengan cara yang berbeda hanya pada tubuhnya saja. Selatan sekarang menjadi bawah bagi Nadir.

Dalam bingung dan panik, Nadir berusaha mencerna apa yang terjadi. Ia tidak bisa mengambil handphone-nya di saku celana yang tergantung di dinding atau mencoba keluar lewat pintu kamar karena keduanya berada di dinding sisi utara, 3 meter di atas kepalanya. Satu-satunya jalan Nadir untuk keluar adalah jendela di sisi barat. Nadir mencoba membuka daun jendela dan langsung mengurungkan niatnya karena melihat dinding rumah tetangga 5 meter di bawah kakinya.

Nadir berteriak memanggil ibunya. Kamar Nadir terkunci dari dalam, ibunya mendengar Nadir dari depan pintu tak mengerti apa yang ia bicarakan, sampai ayah Nadir ikut datang dan mendobrak pintu kamar dan mereka melihat sendiri Nadir menapakkan kakinya di dinding dalam posisi horizontal.

Beberapa rapalan keluar dari mulut ibu Nadir, mengira anaknya selama ini bertapa di kamar untuk belajar ilmu hitam. Ayah Nadir naik ke atas tempat tidur dan mencoba menarik Nadir dari dinding, dan langsung sadar bahwa dengan lutut dan punggung jomponya ia sedang berusaha mengangkat berat badan pria gempal berusia 30 tahun.

Mencoba meredam pertanyaan di kepalanya, Ayah Nadir mengambilkan tangga dari halaman belakang rumah. Nadir mencoba memanjat ke arah pintu kamar, dan langsung mengurungkan niatnya untuk keluar setelah melihat ke bawah ke arah pintu kamar mandi. Saking bingungnya mereka bertiga, yang terfikir hanyalah meminta bantuan pahlawan segala urusan, pemadam kebakaran. Diiringi tangisan ibunya, Ayah Nadir menelepon melaporkan dapurnya terbakar karena tabung gas meledak.

Setengah jam kemudian, empat orang petugas pemadam sudah siap di depan rumah Nadir dengan selang air sudah diulur dari truk mereka, namun mereka tidak melihat api sama sekali. Ayah Nadir menghampiri mereka dan mengajak mereka masuk ke rumah dengan membawa selang tersebut tanpa bicara lebih detil. Setelah melihat Nadir dengan mata kepala mereka sendiri, para petugas pemadam sadar kenapa Ayah Nadir tidak menjelaskan keadaannya. Setelah berbicara beberapa menit, akhirnya mereka semua memutuskan untuk mengikat tubuh Nadir dengan tali tambang, menariknya keluar rumah, mengikatkan Nadir ke truk, dan membawanya ke rumah sakit terdekat.

Truk pemadam pun sampai di parkiran Instalasi Gawat Darurat. Betapa terkejutnya orang orang di rumah sakit tersebut menyaksikan para petugas pemadam kebakaran menarik seseorang yang melayang di udara masuk ke pintu IGD menggunakan tali tambang. Banyak yang merekam kejadian tersebut dan langsung mengunggahnya ke media sosial masing-masing, beberapa orang merespon dengan cara yang tidak jauh berbeda dengan ibu Nadir. Ayah dan ibu Nadir mencoba menjelaskan hal aneh ini ke resepsionis, mereka berdua mengisi form dan dipersilakan untuk menunggu.

Hari sudah malam, sudah lima dokter yang mencoba menangani Nadir, semuanya sama, mereka tidak tahu harus bertindak dengan cara apa. Bahkan dokter-dokter ini pun tidak tahu mau bicara apa ke orang tuanya Nadir. Bertahun tahun pengalaman mereka di dunia kedokteran, para dokter ini sama sekali tidak pernah tahu bahwa manusia bisa tertarik gravitasi ke arah yang salah.

Dalam gelisahnya, Ayah Nadir menghubungi sahabatnya yang merupakan seorang pengusaha penyewaan alat berat dan meceritakan dengan detil apa saja yang terjadi sepanjang hari ini. Entah marah, entah lucu, entah terkejut, entah pasrah, Ayah Nadir tidak bisa mengekspresikan emosinya ketika mendengar satu solusi unik dari temannya ini, mengikat Nadir ke sebuah forklift agar tidak lepas terbang dan tetap bisa bergerak. Nadir yang sejak pagi tadi sudah terdiam lesu hanya bisa pasrah dan tidak tahu merespon bagaimana. Akhirnya hari ditutup dengan para petugas pemadam kebakaran yang masih sedia membantu keluarga Nadir dari pagi tadi, membawa Nadir ke gudang milik sahabat Ayahnya. Akhirnya Nadir pulang mengendarai forklift dengan posisi terikat di kursi. Untuk pertama kalinya malam ini, Nadir tidak lagi berdiam di kamarnya dan berdiam di garasi dengan posisi duduk terikat di kursi alat berat, tetap tidak bisa tidur, untungnya sudah tidak bisa berpikir.

3 tahun berlalu, kehidupan Nadir sudah jauh sekali berubah. Walaupun tidak ada yang bisa memastikan bahwa ini perubahan yang baik atau buruk, setidaknya jam tidurnya sudah seperti orang normal. Layaknya masyarakat umum yang hidup di peradaban, sekarang Nadir bekerja di wahana permainan orang dewasa berkedok perusahaan retail perabotan, sebagai, ya, operator forklift. Untuk melunasi alat berat yang sudah menjadi penyokong hidupnya selama 3 tahun ini, Nadir tidak punya pilihan lain selain bekerja. Orang tuanya sudah banyak membantu merenovasi garasi menjadi kamar barunya di rumah untuk menyesuaikan gaya hidupnya sekarang, termasuk merubah jalur pipa air kotor dan menempelkan dipan kasur dan WC duduk di dinding. Nadir harus mencari uang untuk popok orang dewasa yang ia gunakan setiap hari karena ia tidak punya pilihan lain untuk buang air ketika sedang tidak berada di rumah. Sayangnya dengan tubuhnya yang tak bisa lepas dari forklift ini, Nadir cuma punya sedikit opsi hiburan di waktu luangnya, dan nongkrong bersama teman-teman pegawai gudang atau main ke mall dengan cewek yang match dengannya di dating app tidak termasuk di dalamnya. Sehari-hari ia hanya bisa duduk sendiri sambil menghisap rokok atau bermain game mobile di parkiran tempat kerjanya.

Nadir tidak bisa ikut main ke mall, tapi setidaknya tiap satu atau dua minggu ia masih bisa main ke parkiran gedung-gedung tinggi di sekitar tempat kerjanya. Mudah baginya untuk masuk ke tempat tempat tersebut, karena sejak keviralannya di media sosial 3 tahun lalu, tidak ada yang tidak kenal Nadir si manusia forklift. Ia sampai beberapa kali masuk acara talkshow di saluran TV nasional, dan diliput oleh media media berita luar negeri. Bahkan Nadir bisa mendapatkan pekerjaannya sekarang dari interaksi dengan orang-orang belakang panggung. Walaupun sejak tahun lalu tidak ada lagi media yang membahas tentang Nadir, tetap saja tidak mungkin orang-orang saat ini lupa dengan Nadir, termasuk para petugas security dan parkir gedung-gedung perkantoran di sekitarnya. Sering bahkan Nadir tidak ditagih ongkos parkir, cukup dengan ajakan foto bersama ia sudah bisa masuk parkir gratis.

Hari ini, Nadir cuti dari pekerjaannya, hanya ambil cuti sehari. Ngomongnya sih cuti sakit, tapi sebenarnya ia hanya ingin lepas dari urusan kerjaan dan nyebat seharian di gedung parkir sepuluh lantai yang biasa ia kunjungi. Ia mengendarai forkliftnya menuju parkiran tersebut, dan tak lupa membeli sebungkus rokok putih di warung dekat rumahnya. Nadir tak punya agenda lain selain termenung bersama hangatnya bara rokok di rooftop parkiran.

Baru dua batang rokoknya ia habiskan, Nadir tiba-tiba teringat tentang cita-citanya dulu ingin keliling dunia saat masih sekolah. Ia sangat ingin melihat keindahan alam, landmark-landmark ikonik, dan skyline gedung-gedung tinggi di tiap negara di luar sana, yang sebelumnya hanya bisa dia lihat di TV dan internet. Ia ingin melihat bermacam-macam jenis vegetasi di zona-zona iklim berbeda dan bagaimana perbedaan cuaca di negara dua dan empat musim. Ia ingin melihat sendiri bagaimana es di kutub bisa mengapung dan tidak mencair. Ia ingin melihat langit di negara-negara yang tidak merasakan malam selama musim panas dan bagaimana cara orang-orang tidur di sana. Nadir tidak bisa ingat pasti kapan terakhir kali ia masih punya semangat untuk bisa mengkoleksi gambar-gambar stempel di paspornya, yang ia tahu itu sudah lama sekali.

Lima batang rokok lewat, Nadir berpikir tentang kejadian yang merubah hidupnya 3 tahun lalu menjadi seperti sekarang. Entah ini anugrah, keajaiban, hukuman, sampai sekarang ia tidak pernah tahu apa yang dialaminya ini. Nadir tidak tahu apa jadinya ia tanpa forklift yang ia duduki sekarang ini. Apakah tubuhnya akan terhempas menabrak gedung sebelah? Apakah ia akan bergerak dalam garis lurus menembus lapisan atmosfer atau bergerak dalam kurva mengorbit bumi seperti bulan? Apakah paling tidak ia akan sempat melihat Antartika? Yang ia tahu ia akan “terbang”, atau “jatuh” ke selatan, ia pun ragu kata mana yang lebih tepat.

Sekarang sudah batang rokok kedelapan, sisa setengah batang di jarinya, masih menyala. Nadir diam, tidak memikirkan apa-apa lagi. Sembari menghisap batang rokok yang sedang di tangannya ini, Nadir mulai melepas ikat pengaman dari forkliftnya, mulai dari sabuk di pinggang, kemudian dada, lalu kedua bahunya. Nadir menaruh rokok di bibirnya, berhati-hati beranjak dari kursi dan naik ke atas atap forklift, meninggalkan sisa 12 batang rokok dalam bungkus dan korek apinya di dasbor. Nadir menghabiskan hisapan terakhir rokoknya di tangan kirinya, lalu membuang puntung rokoknya sembarang. Dengan posisi kedua kaki menekuk dan tangan kanannya menahan berat tubuhnya di atas forklift yang sudah menemaninya 3 tahun terakhir, Nadir siap.

Nadir, melompat, dengan sudut elevasi 45 derajat, ke selatan.

This post is licensed under CC BY 4.0 by the author.